Pertapa dan pelacur - Seorang pertapa tinggal diasramnya dan di seberang
jalan tepat berhadapan dengan asramnya ada rumah
bordil di mana tinggal seorang pelacur. Setiap hari
ketika pertapa akan melakukan meditasi, dia melihat
para lelaki datang dan pergi dari dan ke rumah pelacur
itu. Dia melihat pelacur itu sendiri menyambut dan
mengantar tamu-tamunya. Setiap hari pertapa itu
membayangkan dan merenungkan perbuatan memalukan
yang berlangsung di kamar pelacur itu, dan hatinya
dipenuhi oleh kebencian akan kebobrokan moral dari
pelacur itu.
Setiap hari pelacur itu melihat sang pertapa dalam praktek-praktek spiritualnya (sadhana). Dia berpikir betapa indahnya untuk menjadi demikian suci, untuk menggunakan waktu dalam doa dan meditasi. “Tapi” dia mengeluh, “nasibku memang menjadi pelacur. Ibuku dulu adalah seorang pelacur, dan putriku nanti juga akan menjadi pelacur. Demikianlah hukum negeri ini.” Pertapa dan pelacur itu mati pada hari yang sama dan berdiri di depan Sang Hyang Yama bersama-sama. Tanpa diduga sama sekali, pertapa itu dicela karena kesalahannya.
“Tapi”, dia memprotes, “hidupku adalah hidup yang suci. Aku telah menghabiskan hari-hariku untuk doa dan meditasi.”
“Ya,” kata Yama, “tapi sementara badanmu melakukan tindakan-tindakan suci itu, pikiran dan hatimu dipenuhi oleh penilaian jahat dan jiwanya dikotori oleh bayangan penuh nafsu.”
Pelacur itu dipuji karena kebajikannya. “Saya tidak mengerti,” katanya, “selama hidupku aku telah menjual tubuhku kepada setiap lelaki yang memberikan harga pantas.”
“Lingkungan hidupmu menempatkan kamu dalam sebuah rumah bordil. Kamu lahir di sana, dan di luar kekuatanmu untuk melakukan selain dari hal itu. Tapi sementara badanmu melakukan tindakan-tindakan hina, pikiran dan hatimu selalu suci dan senatiasa dipusatkan dalam kontemplasi dan kesucian dari doa dan meditasi pertapa ini.”
Dua kisah di atas mengajarkan kepada kita untuk tidak merasa paling benar sendiri, paling suci sendiri. Chin- Ning Chu memberi nasehat : “Kebajikan”, katanya “bukanlah jubah yang engkau kenakan, atau gelar-gelar mulia yang engkau berikan kepada dirimu untuk dipamerkan kepada umum!”.
Renungan batin masing2 (source : facebook.com)
Setiap hari pelacur itu melihat sang pertapa dalam praktek-praktek spiritualnya (sadhana). Dia berpikir betapa indahnya untuk menjadi demikian suci, untuk menggunakan waktu dalam doa dan meditasi. “Tapi” dia mengeluh, “nasibku memang menjadi pelacur. Ibuku dulu adalah seorang pelacur, dan putriku nanti juga akan menjadi pelacur. Demikianlah hukum negeri ini.” Pertapa dan pelacur itu mati pada hari yang sama dan berdiri di depan Sang Hyang Yama bersama-sama. Tanpa diduga sama sekali, pertapa itu dicela karena kesalahannya.
“Tapi”, dia memprotes, “hidupku adalah hidup yang suci. Aku telah menghabiskan hari-hariku untuk doa dan meditasi.”
“Ya,” kata Yama, “tapi sementara badanmu melakukan tindakan-tindakan suci itu, pikiran dan hatimu dipenuhi oleh penilaian jahat dan jiwanya dikotori oleh bayangan penuh nafsu.”
Pelacur itu dipuji karena kebajikannya. “Saya tidak mengerti,” katanya, “selama hidupku aku telah menjual tubuhku kepada setiap lelaki yang memberikan harga pantas.”
“Lingkungan hidupmu menempatkan kamu dalam sebuah rumah bordil. Kamu lahir di sana, dan di luar kekuatanmu untuk melakukan selain dari hal itu. Tapi sementara badanmu melakukan tindakan-tindakan hina, pikiran dan hatimu selalu suci dan senatiasa dipusatkan dalam kontemplasi dan kesucian dari doa dan meditasi pertapa ini.”
Dua kisah di atas mengajarkan kepada kita untuk tidak merasa paling benar sendiri, paling suci sendiri. Chin- Ning Chu memberi nasehat : “Kebajikan”, katanya “bukanlah jubah yang engkau kenakan, atau gelar-gelar mulia yang engkau berikan kepada dirimu untuk dipamerkan kepada umum!”.
Renungan batin masing2 (source : facebook.com)